Tuesday 9 February 2016

MERAWAT ORANG TUA YANG SAKIT DENGAN HATI IKHLAS

Tulisan ini dimuat di Majalah Kartini, edisi 2325 tgl 28/6/2012





            Setiap besuk orang sakit yang rawat inap di rumah, aku selalu membayangkan kamar yang pengap dan bau khas penyakit.  Atau menjumpai sprei yang kusam karena jarang diganti.  Itu pun masih ditambah dengan bau obat antibiotik yang menyergap hidung.  Ini pengalaman yang sering aku jumpai.  Dan bukan bermaksud buruk bila akhirnya hidungku mengerut tak tahan.  Bahkan kadang aku mesti menahan nafas. 
            Sore itu aku janjian dengan sepupu, akan membesuk bulik yang mengalami stroke.  Aku sudah membayangkan kamar dengan aroma tertentu.  Biasanya penderita stroke yang sudah parah, akan menggunakan pampers agar memudahkan dirinya sendiri dan orang yang merawatnya.  Meski ada juga penderita yang tak nyaman menggunakannya.  Dan hal ini menjadi bahan pertikaian dengan keluarga atau orang yang merawatnya.
            Namun tak demikian yang aku jumpai di kamar bulik.  Begitu aku masuk ke kamar beliau, harum aromatherapi  yang menyegarkan, menyambut kedatangan kami.  Di atas pembaringan, beliau tidur dengan nyaman.  Pakaian yang dikenakannya bersih dan wangi.  Saat aku mendekat untuk mencium pipinya, aroma sabun mandi masih menguarkan wangi yang khas.   
            Mataku masih menjelajah seisi kamar.  Kali ini pandanganku terpusat pada kertas ukuran folio yang berisi tulisan jadwal piket.  Ah, rupanya ada sesuatu dibalik kebersihan ruangan ini.   
            Dari cerita putra-putrinya, selama ini telah disusun jadwal bagi anak dan menantu untuk merawat ibundanya.  Tak ada alasan tak ada waktu, karena semua memperoleh giliran jaga sesuai keinginan masing-masing.  Jadi, kegiatan bulik mulai pagi hari hingga menjelang tidur malam, selalu ada dua orang anak dan menantu yang siaga merawat.  Tidak sekedar merawat, seperti memandikan bulik serta mengganti pakaian yang bersih setiap pagi dan sore hari.  Putra-putrinya dan menantu bulik juga menyuapi makanan dan meminumkan obat. 
            Seperti penderita stroke yang tak bisa lagi beraktivitas secara normal.  Butuh seorang perawat yang memiliki kesabaran ekstra dan tekat kuat saat tiba waktu makan. Ketika bulik bisa menelan lebih dari empat sendok makan, pujian akan terlontar dari putra atau putrinya.  Namun saat mereka tak mampu menyuapkan satu sendok pun, tak ada ucapan jengkel atau marah kepada sang ibu.  Jurus merayu sambil melontarkan candaan menjadi senjata untuk meluluhkan hati sang ibu agar berkenan membuka mulut serta menelan makanan.
            Begitu halnya kala meminumkan obat.  Sepupuku yang saat itu bertugas menjaga sang ibu bercerita,”Ibu nggak mau dirawat di rumah sakit.  Mungkin ibu trauma saat merawat bapak dulu.  Jadi, sebelum sakit ibu tambah parah, beliau sempat berucap tak mau dibawa ke rumah sakit,”   
            “Kalau bulik dipaksa aja, gimana?”
            “Uhhh…sudah mbak.  Tapi ibu tetap bergemingYa, akhirnya kami rawat ibu seperti perawat di rumah sakit.  Kamar harus selalu bersih. Sprei harus diganti setiap hari. Ibu juga tetap mandi dua kali sehari, meski dengan menyeka tubuhnya pakai waslap yang dicelupkan ke air hangat.  Dan pakai sabun juga lho, mbak,”
            Aku manggut-manggut saja mendengarkan.  Pantas saja setiap orang yang membezuk bulik, selalu memuji kondisi kamar dan si penderita yang selalu tampil bersih. Kesungguhan putra-putri bulik memang patut diacungi jempol.  Menantunya pun tak kalah hebat.  Rumah mereka tinggalkan setiap pagi selama enam hari.  Putri bungsu bulik yang tinggal serumah, memiliki jadwal merawat sang ibu saat hari Minggu.  Meski tentu saja jadwal piket ini tidak seketat aturan di rumah sakit.  Mereka bisa saling bertukar hari bila ada keperluan yang cukup mendesak.  Bagi mereka, limpahan kasih sayang pada sang ibu saat menderita sakit,  tak pernah cukup untuk menggantikan setiap perhatian yang pernah mereka terima.              
Yang membuat aku semakin takjub, karena melihat sendiri pemandangan ini, adalah keikhlasan anak dan menantunya menuntun beliau agar tetap menunaikan sholat lima waktu.  Dalam keadaan sakit, bulik memang tetap ingin menjaga sholatnya.  Putra-putri dan menantunya bergantian menuntun bulik mulai berwudlu, memakaikan mukena hingga mengimami sholat.  Semua dilakukan di atas pembaringan, karena bulik sudah tak bisa melakukannya dengan sempurna.
Duh, betapa bahagianya seorang ibu yang memiliki anak dan menantu yang mampu saling tolong menolong dalam ujian kehidupan ini. Dalam ujian sakitnya, aku yakin, ada syukur yang pasti selalu mengalir di  hati dan tubuh sang ibu.  Bersinergi dengan keikhlasan hati dan pikiran yang mampu menerangi rumah ini dengan cahaya kesabaran. Malaikat pun pasti turut berdzikir memandu seluruh penghuni rumah.
            Air mataku mengalir.   Aku meyakini, para sepupuku dan pasangan hidupnya, Insya Allah akan menjadi calon penghuni Surga dari Pintu Keikhlasan merawat sang ibu.  Tak ada keluh kesah yang terdengar dari mulut mereka.  Yang ada malah berbagi kisah lucu, haru dan kesabaran  tentang betapa berlimpah nikmat merawat sang ibu. 
Aku berpikir, mampukah kelak bila orang tuaku sakit, bisa sesabar dan seikhlas mereka menjalaninya?  Keyakinanku ini membutuhkan konsisten yang tinggi dalam bersikap dan melakukan tindakan nyata kelak. Semoga aku mampu merawat kedua orang tuaku dengan kesabaran dan penuh keikhlasan.

                                    ----00----

(sumber: hidayah-art .com)

No comments:

Post a Comment